Lahir di sebuah desa terpencil di Zhangjiashu, Ma Yan adalah seorang gadis perempuan yang unik. Di desa yang sebagian perempuannya menikah muda, serta kesempatan besar untuk bersekolah hanyalah hak istimewa anak laki-laki, tidak membuat surut semangat Ma Yan untuk sekolah. Namun, betapa hancur hati Ma Yan ketika suatu sore ibunya berbicara dengan isak tangis bahwa sekuat apa pun sang ibu membiayai Ma Yan, tampaknya gurat nasib Ma Yan akan seperti yang digariskan untuk perempuan-perempuan miskin di desanya: tidak berpendidikan dan menikah muda.
Dengan hati pedih Ma Yan protes kepada ibunya.
“Ma, mengapa harus aku yang berhenti sekolah, Ma?”
“Mengapa kedua adik laki-lakiku bisa meneruskan sekolah sedangkan aku tidak?!” Pedih hati Ma Yan. Lebih pedih lagi dia merasa mimpinya untuk meraih pendidikan akan segera menguap, dan satu-satunya hal yang menghalangi harapan dan kenyataan adalah keterbatasan biaya. Di daerah Zhangjiashu yang miskin dan terbelakang sebagian besar keluarga hanya memiliki pendapatan US$ 15 setahun. Dengan penghasilan seminimal ini, pendidikan adalah mimpi bagi sebagian besar penduduk.
Namun Ma Yan bukanlah gadis yang mudah menyerah. Dia rela berjalan 5 jam di tengah hantaman musim dingin menempuh jalan panjang ke sekolah. Kakinya bengkak, badannya letih, namun hatinya tetap hangat dengan harapan. Sekolah adalah api yang menyalakan mimpi-mimpinya. Pernah suatu ketika, Ma Yan harus menghapus jadwal makan siangnya selama 15 hari hanya untuk membeli sebuah PENA. Betapa besar pengorbanan Ma Yan, tapi betapa kuat tekadnya untuk tidak dimangsa nasib yang setiap saat bisa menghempaskan fondasi ekonomi keluarganya yang rapuh.
Namun, setiap kali Ma Yan terjerembap dalam kesulitan, buku harianlah obat penawarnya. Dengan penuh perasaan, Ma Yan menulis.
“Pada waktu kami bersiap pulang usai makan siang, cuaca terasa sangat dingin. Ditambah lagi hujan turun. Anak-anak perempuan asrama pulang dengan menumpang traktor. Hanya aku dan adikku, serta satu orang teman akan berjalan kaki.”
“Pagi ini setelah pelajaran usai, aku pergi ke pasar di Yuwang bersama dua teman. Di sana kami melihat banyak orang yang jauh berbeda dengan kami. Satu orang hanya memiliki sebelah kaki, yang lain kehilangan salah satu telapak kakinya. Bahkan, ada yang buta.
“Aku sempat mengira takkan mampu bertahan di sekolah. Dan, hari ini aku berjumpa seorang laki-laki yang buta. Orang buta saja bisa tetap hidup, jadi kenapa aku tidak melakukan hal yang sama?
“Kemampuanku harus bertambah lebih baik dan lebih baik lagi, juga berada di depan semua siswa sekolah.”
“Ibu yang mendorong aku sehingga bisa kembali ke sekolah. Aku harus terus bersekolah agar bisa masuk ke universitas dan mendapatkan pekerjaan yang hebat. Kemudian, Ibu akan memiliki kehidupan yang bahagia. Aku ingin ibuku hidup bahagia di masa kedua kehidupannya.”
Novel ini diangkat dari kisah nyata Ma Yan yang jurnal hariannya pernah diterbitkan ke dalam bahasa Prancis. Dari bahan tulisan yang berserak dan berita-berita sekitar kehidupan Ma Yan, utamanya buku harian Ma Yan.
Dengan hati pedih Ma Yan protes kepada ibunya.
“Ma, mengapa harus aku yang berhenti sekolah, Ma?”
“Mengapa kedua adik laki-lakiku bisa meneruskan sekolah sedangkan aku tidak?!” Pedih hati Ma Yan. Lebih pedih lagi dia merasa mimpinya untuk meraih pendidikan akan segera menguap, dan satu-satunya hal yang menghalangi harapan dan kenyataan adalah keterbatasan biaya. Di daerah Zhangjiashu yang miskin dan terbelakang sebagian besar keluarga hanya memiliki pendapatan US$ 15 setahun. Dengan penghasilan seminimal ini, pendidikan adalah mimpi bagi sebagian besar penduduk.
Namun Ma Yan bukanlah gadis yang mudah menyerah. Dia rela berjalan 5 jam di tengah hantaman musim dingin menempuh jalan panjang ke sekolah. Kakinya bengkak, badannya letih, namun hatinya tetap hangat dengan harapan. Sekolah adalah api yang menyalakan mimpi-mimpinya. Pernah suatu ketika, Ma Yan harus menghapus jadwal makan siangnya selama 15 hari hanya untuk membeli sebuah PENA. Betapa besar pengorbanan Ma Yan, tapi betapa kuat tekadnya untuk tidak dimangsa nasib yang setiap saat bisa menghempaskan fondasi ekonomi keluarganya yang rapuh.
Namun, setiap kali Ma Yan terjerembap dalam kesulitan, buku harianlah obat penawarnya. Dengan penuh perasaan, Ma Yan menulis.
“Pada waktu kami bersiap pulang usai makan siang, cuaca terasa sangat dingin. Ditambah lagi hujan turun. Anak-anak perempuan asrama pulang dengan menumpang traktor. Hanya aku dan adikku, serta satu orang teman akan berjalan kaki.”
“Pagi ini setelah pelajaran usai, aku pergi ke pasar di Yuwang bersama dua teman. Di sana kami melihat banyak orang yang jauh berbeda dengan kami. Satu orang hanya memiliki sebelah kaki, yang lain kehilangan salah satu telapak kakinya. Bahkan, ada yang buta.
“Aku sempat mengira takkan mampu bertahan di sekolah. Dan, hari ini aku berjumpa seorang laki-laki yang buta. Orang buta saja bisa tetap hidup, jadi kenapa aku tidak melakukan hal yang sama?
“Kemampuanku harus bertambah lebih baik dan lebih baik lagi, juga berada di depan semua siswa sekolah.”
“Ibu yang mendorong aku sehingga bisa kembali ke sekolah. Aku harus terus bersekolah agar bisa masuk ke universitas dan mendapatkan pekerjaan yang hebat. Kemudian, Ibu akan memiliki kehidupan yang bahagia. Aku ingin ibuku hidup bahagia di masa kedua kehidupannya.”
Novel ini diangkat dari kisah nyata Ma Yan yang jurnal hariannya pernah diterbitkan ke dalam bahasa Prancis. Dari bahan tulisan yang berserak dan berita-berita sekitar kehidupan Ma Yan, utamanya buku harian Ma Yan.
Sanie B. Kuncoro, novelis dan pemenang beberapa sayembara novel, cerpen, dan novelet, menuliskannya kembali dengan apik dalam bentuk novel dengan penuh perasaan dan meremas emosi. Perasaan Anda akan meleleh membaca paragraf demi paragrafnya. Akan tetapi jauh di dalam, hati anda terasa hangat dan merasakan berkah besar hidup yang selama ini sering kali diabaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar